Picture
Caption: untukmu,
kepak
sayap hitam
jiwaku
Picture
Caption: ... in order for a statue to appear solid and three-dimensional, you need to have shadows. ... You have to patiently learn to live together with your shadow.
--Haruki Murakami--
Picture
Caption: Ilusi
Caption: Ilusi
bulan-bulan bergerak mundur
kau menghitung daya tempur
rencana berabad silam terempas waktu
bertemu, semacam ilusi untukmu
malam-malam melintas, melibas
pasukan gelap membayang
lembaran-lembaran masa kau telan, pelan, gentas
semua semu, katamu pada kembang mayang
yang ada adalah tiada
yang fana fatamorgana
embusan angin meniup semua yang tersisa
kepingan hatimu runtuh di langit gulita
belati kau asah
tajam, membelah derita di raga
dua mata baja berkilap basah darah
menyebar bau anyir dari medan laga
belati, untuk yang mati, merasa mati, akan mati
tubuhmu beku es, jiwamu sunyi binasa
nyanyian hampa semesta berdengung menembus nadi
seratus tahun cahaya tak tergapai selamanya
prajurit bayangan meletakkan kenangan
menggulung, membungkusnya rapi
memadamkan seribu angan
menuju kelam melangkah pergi
September 2016
Picture
Caption: Ketakabadian
Caption: Ketakabadian
sepekan –tujuh, enam, lima, empat
tiga, dua, satu hari lagi
hitungan mundur dimulai
lembayung senja ganti-berganti fajar merah pagi
bermula di satu hari tawar
kala dunia kecil pecah berkeping
"kamu gelisah?" tanyamu lewat abjad-abjad di layar
"bisakah aksara bertukar suara?" balasku dalam hening
"kita bertemu," katamu segera
tawaku memecah senyap
bersama banjir ingatan akan rencana-rencana yang terbuang ke segara
"kali ini sungguh," ujarmu, bertetap
di semesta lain
tanganmu menggenggam
kasar ilalang bertemu lembut sakura
menghantarkan semua rindu terpendam
satu-dua bulan, satu-dua tahun, hati membatu
hujan bersulih kemarau, sedu beralih gelak
musim berputar mengiringi laju waktu
musik mengalun mengarungi cinta berjarak
lara membawamu menjejak tanah-tanah asing
melintasi batas ruang
membasuh duka, menjauhi bising
mencari sunyi, membeli masa luang
tapi dua jiwa tak benar-benar terberai
"Phnom Penh, 37 derajat Celcius, berpayung rimbun pepohonan."
"Chiang Mai, 40 derajat Celcius, terkurung kubah bangunan."
terpisah 1.300 kilometer, tawa mengalir berderai
"Changi, transit, aku teringat kamu."
"Jakarta, kerja, kamu tak pernah kulupa."
senyum mengembang di wajahku, wajahmu
sebelum pusaran poros bumi menggilas lagi segala
seutas benang tipis terjalin rapuh
melintang sembarang di jagat sarat ketakabadian
mentari merekah, hitam pekat robusta kembali diseduh
mari teguk habis, di tengah buai ketakpastian
September 2016
Picture
Caption: Tuol Sleng Genocide Museum's yard in Phnom Penh, Cambodia
Picture
Caption: Dadu
Caption: Dadu
hidupmu serupa dadu
berputar berpendar terlempar terkapar
tak pernah tahu
takdir akan mesra merangkul atau habis membakar
pagi saling mencandu, malam pahit beradu
siang menari riang, petang menyulut berang
hari ini melempar senyum manis madu
esok berbalik garang menyandang parang
di sini menindas menginjak tertawa
di sana menangis memohon kecut
di rawa perompak perkasa berjubah dewa
di laut menghindar badai berbalut kalut
dalam kelam menghimpun pasukan menyusun makar
di medan tempur mundur teratur menakar sukar
seminggu menanti angin menghalau kabut
sewindu menyekap bara dalam serabut
hati mencinta sedalam samudra
jiwa memendam lara tiada tara
tak henti mencari gelombang abadi kehidupan
tapi terus mendengar dentang lonceng kematian
kubus kecil bermata merah
perlahan lelah melemah kalah
tak ada celah di antara bedebah
ia memilih musnah terbelah
September 2016
Picture
Caption: Malam
Caption: Malam
Kepada malam senyap
yang menyimpan rahasia dalam lipatan
kubah pekat jagat
dan kepak hantu bersayap
Kau tengadah ke langit
mencari kuas tipis bening
Jemari menari menyapu hening
mengukir nama, wajah, di angkasa raya
Kepada Yang Maha Mengetahui
isi hati manusia dan lapis demi lapis semesta
Aku tak mengenal hitam dan putih
Selamanya kelabu bertakhta
Dingin angin menusuk belikat
kau meramu hangat sihir pemikat
cairan jernih dalam botol kaca tersumbat
Buka, tuang, dan beri jampi pengikat
Kepada yang menghuni relung jiwa
penggoda rupawan kiriman dewa
Kenapa larutan bermantra tak boleh kuteguk habis?
sementara bibirku kau reguk manis
Helai-helai perak berkilau ditimpa sinar redup
Gurat keras jejak hidupmu tergores di paras
kepingan-kepingannya terkatup
dengan cuilan kecil tertera di atas atlas
Aku menjelajah peta buta
mengikuti aliran sungai membawa
menyerahkan diri pada malam
tempat jiwa-jiwa sunyi bersemayam
Oktober 2016
Picture
Picture
Caption: Negeri Kelabu
Caption: Negeri Kelabu
sepuluh tahun lalu
kala kita belum bertemu
lidah tak terserang kelu
dan hidup lepas dari cengkeram jemu
aku menulis di secarik kertas
senandung cinta untuk tanah nun jauh
yang hanya kutemui di mimpi malam melintas
dan kusentuh di lembar-lembar kitab terisi penuh
aku menyebutnya Negeri Kelabu
tempat segala muram bersemayam
di bawah putih langit bersalju
dilingkari dingin angin menderu menikam
hati-hati dengan lamunan, kata mereka
ganjil melihatku bergeming di genting sepanjang senja
aku tersenyum, membiarkan semua sembarang menerka
kembali menatap lembayung di sore manja
aku berdiri, merentangkan kedua tangan ke angkasa
merasakan embusan udara di sekujur tubuh
meramal badai yang akan mengadang para perasa
mengirim bisik rahasia untuk jiwa-jiwa rapuh
kalbuku bongkah jelaga
magnet seluruh suram dan kelam masa silam
mewujud kompas menuju hitam telaga
merayumu menyelam lalu menarikmu tenggelam
.....................................
aku di antara dua lintasan
dengan gemuruh melesat di kiri dan kanan
mata-mata membelalak ngeri
aku diam tenang, kaki kokoh terpatri
bising itu lenyap
selusin gerbong logam berlalu dalam sekejap
aku melangkah menyeberangi jalur baja
menertawakan nasib tragis Anna Karenina
kegilaan menyelimuti
hantu perempuan bangsawan membuntuti
benakmu berduka
kau memutuskan menjemput dia --di tempatnya mati seketika
tiga belas hari lagi
aku memasuki gerbang Kerajaan Bayang-Bayang
imperium persekutuan realitas dan fantasi
sumber api kesintingan di petang jalang
setelah itu
mungkin aku tak ingin pulang
mendekap roh perempuan hantu di awang
mencari ruang hampa untuk menghilang
Oktober 2016
Picture
Picture
Caption: Kutukan
Caption: Kutukan
Semua menuju tamat
akhir sebuah dunia gilang-gemilang
yang dibangun dengan emas 24 karat
oleh para kesatria cemerlang
Perempuan itu berdiri di bibir tebing
mata tajam menatap kaki langit
Samudra bergolak diarak percik api topan beling
Serpihan tajam terserak ke segala penjuru bersama aroma sangit
Amarah membara
Kutukan terlontar
dari kotak pandora
Jagat terlempar
Di meja, kartu-kartu balok dan dadu
porak-poranda disapu gelombang raksasa
Mata-mata hitam merah domino memandang sendu
ke arah semesta binasa
Sepotong kartu roboh di suatu malam
menimpa barisan balok yang lelap mendengkur
Bola rolet berhenti menggelinding, diam terpekur
menyaksikan ruangan perlahan tenggelam
Siapa lebih dulu mati
aku, kamu, kalian, kita --melekat bagai magnet
Perempuan gila menggenggam revolver dan belati
bak bermain Russian Roulette
Hangus, pecah, musnah
Semua tak lagi sama
Belantara membentang paralel, tak mesti seirama
Duniaku, duniamu, tertaut gundah
Semesta butiran debu tersesat
dengan atom saling bersenyawa atau bertolak
mendekat atau berjarak
mendekap atau melumat
Ia berpijak goyah
air garam menganak sungai dari bola mata
Ia membangun dinding membendung tikaman resah
membekukan rasa dan terbang dalam buta
November 2016
Picture
Picture
Caption: Rindu
Caption: Rindu
kamu tahu apa itu rindu?
ketika memandangmu tak jemu
meski kau di seberang waktu
meski kau di balik keruh kelambu
kamu tahu apa cinta tanpa syarat?
ketika kau kuhargai 24 karat
lalu kubawa bayangmu tanpa berat
ke manapun langkahku mendarat
kamu tahu apa itu jarak?
ketika hatiku berderak
mendengarmu merintih serak
tanpa kubisa memberimu arak
kamu tahu apa itu asa?
ketika kau melintasi masa
hingga sepuluh dasawarsa
tanpa hasratmu kedaluwarsa
kamu tahu apa itu pedih?
ketika kau mendambanya berlebih
benakmu tak bisa berpikir jernih
tapi kau menahan semua rasa hingga jantung mendidih
kamu tahu apa itu fatamorgana?
ketika kau berkelana
mengejar belahan jiwa hingga sabana
lalu melihatnya lenyap ditelan gerhana
kamu tahu apa itu kelam?
ketika kau dalam menyelam
ketika kau berteriak di tebing malam
dan dia tetap sosok maya yang diam
kamu tahu siapa aku?
yang selalu mengingatmu
meski gelombang menyapu pantulanmu
meski mati dan hidup dan mati dan hidup lagi mesti kulalui untukmu
Februari 2017
Picture
Picture
Caption: #stellerid #stellerpoems #puisi
all poems by Anggi Kusumadewi
pics: pixabay, Anggi, and Reancy my partner in crime