Picture
Caption: HG Rorimpandey Menebar Kasih
Caption: Hendrikus Gerardus (HG) Rorimpandey adalah Sinar Harapan. Begitu sebaliknya. Ibarat ikan dengan air. Sinar Harapan dikenal sebagai "Raja Koran Sore". Tahun 1985, Sinar Harapan (SH) telah terbit dengan oplah sekitar 250.000 eksemplar. Jumlah karyawan pun bertambah dari 28 orang ketika terbit 27 April 1961 menjadi 451 orang pada 1986 ketika dibredel rezim Orde Baru.
Caption: Berkat tangan dingin Pak Rorim, biasa HG Rorimpandey disapa, SH maju luar biasa. Koran sore yang satu ini menjalankannya kebijakan redaksional yang menegakkan sikap kritis dan independen. Di masa Orde Baru, Pak Rorim di hadapan jajaran redaksi menegaskan. Katanya, "Saya dan pimpinan sudah menerima policy yang tegas. Semua berita yang mengkritik Pemerintah khusus Soeharto dibolehkan. Soal risiko itu akan kita terima."
Caption: Pak Rorim dikenal sangat memprihatinkan karyawan. Baginya, kesejahteraan wartawan dan karyawan adalah harga mati. Alasannya, kalau wartawan dan karyawan makmur maka berkembanglah perusahaan. Karena itu, bagi Pak Rorim, sumber daya manusia merupakan aset utama. Lantaran itulah buku biografinya diberi judul "Semua Harus Untung."
Caption: Ada cerita bagaimana Pak Rorim mendirikan koperasi guna menyediakan bahan sandang dan pangan yang murah ketika akhir 1960 terjadi kelangkaan bahan kebutuhan pokok. Inflasi meroket. Keluarga karyawan dan wartawan dapat membeli bahan kebutuhan pokok melalui koperasi.
Caption: Dalam hal gaji pun, wartawan dan karyawan angkat jempol buat Pak Rorim. Bayangan mereka menerima bonus setiap tiga bulan, gratifikasi sekali setahun, THR Natal dan Idul Fitri. Malah, kepemilikannya saham perusahaan diberikan kepada karyawan dan wartawan melalui koperasi sebesar 20 persen. Bahkan, kabarnya pernah melebihi 30 persen.
Caption: Pak Rorim yang lahir di Palu, Sulawesi Tengah 2 Januari 1922 itu tanpa diketahui wartawan dan karyawan tiba-tiba blusukan ke agen dan pengecer koran untuk menanyakan isu yang diminati pembaca. Hal itu diaminkan Benny Ticoalu, salah seorang pimpinan bagian sirkulasi. Dia tahu itu karena agen dan pengecer yang kasih tahu.
Caption: Istri Pak Rorim, Martha Francisca Magdalena Pietersz (Donkie) juga turut andil berbagi kasih dengan membuka dapur umum di halaman kantor SH di Jalan Dewi Sartika 136-D, Cawang, Jakarta Timur ketika koran tutup karena dibredel rezim Orde Baru.
Caption: Banyak cerita sukses yang ditoreh sebagai "Raja Koran Sore". Namun banyak pula goresan tinta hitam dalam perjalanan SH karena kerap dibredel rezim Orde Baru. Tercatat 15 kali koran ini diganjar pembredelan. Semuanya terjadi saat Soeharto berkuasa di negeri ini.
Caption: Kesuksesan Pak Rorim diaminkan banyak pihak terutama tokoh pers. Bahkan, seorang Goenawan Mohamad pernah bertanya kepada Pak Rorim, aspek apa dari majalah Tempo yang perlu diamati dengan cermat. Saat itu Pak Rorim menjawab: "Organisasi."
Goenawan Mohamad belajar dari Sinar Harapan. Dia ingin Tempo mempunyai organisasi yang amat sangat kuat. Jika tidak maka sebuah penerbitan akan jatuh karena terutama dengan ego yang besar yang dimiliki banyak orang.
Caption: Tanggal 15 November 2002 Pak Rorim menghadap Sang Khalik. Semua orang terkejut. Tapi Pak Rorim masih bisa tersenyum karena dia sempat menikmati SH terbit kembali pada awal Juli 2001 bersamaan tumbangnya rezim Soeharto pada Mei 1998. Sayangnya, 13 tahun sepulangnya Pak Rorim, Sinar Harapan, koran yang dibidani itu dihentikan pihak pemilik saham mayoritas. "Raja Koran Sore" itu pun tertidur pulas. Entah sampai kapan? (*)